Form Login



Agenda Kegiatan Masjid

Jadwal Sholat Kota Jakarta
Beranda Pendidikan Keislaman Masyarakat Islam
Masyarakat Islam Cetak Email
Ditulis oleh Administrator   
Kamis, 11 Pebruari 2010 16:24

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS 3:110, Ali ‘Imran)

Islam adalah agama samawi yang mengajarkan penghambaan kepada Allah bukan hanya secara individual tetapi juga secara kolektif. Penghambaan tersebut memiliki dimensi hablumminallah dan hablumminannas, sehingga dapat membentuk manusia yang memiliki keshalihan pribadi maupun sosial secara terpadu. Dalam kaitannya dengan keshalihan sosial, Islam mengajarkan agar manusia hidup dalam suatu sistem masyarakat Islam. Yaitu sistim sosial yang dibentuk dan dikelola berdasarkan nilai-nilai syari’at Islam.

Penerapan Syari'at Islam

Penerapan syari’at Islam secara benar akan melahirkan masyarakat Islam dengan sistemnya yang khas. Menurut Sayyid Qutb, alasan utama yang menyebabkan tersendirinya Masyarakat Islam dengan sistemnya yang khas itu ialah kenyataan bahwa ia sebenarnya suatu masyarakat yang tercipta oleh syari’at yang khas, ciptaan Allah sendiri. Syari’at ini tumbuh dengan sempurna semenjak dia diciptakan, tanpa melalui proses evolusi sejarah. Syari’at inilah yang menciptakan masyarakat Islam, dibangun di atas landasan-landasan yang dikehendaki Allah untuk hamba-hamba-Nya, bukan menurut konsep yang ditetapkan atas kemauan segolongan manusia terhadap sejumlah manusia yang selebihnya. Dan di bawah naungan syari’at ini, menjadi lengkaplah pertumbuhan jama’ah yang bercorak Islam.

Bersama-sama dengan itu, terciptalah hubungan kerja dan produksi, hukum dan kaidah moral menyangkut perseorangan dan masyarakat, pokok-pokok budi pekerti dan undang-undang pergaulan, bahkan mencakup segenap upaya tertentu untuk mengokohkan tata kehidupan sosial dan menggariskan jalan untuk tumbuh dan berkembang.

Islam adalah jalan hidup (way of life) yang dihadirkan untuk umat manusia. Keislaman seseorang tidaklah cukup hanya dalam ucapan syahadah saja, atau lebih luas dengan apa yang disebut sebagai rukun Islam. Islam harus diterima secara kaffah atau totalitas (QS 2:208, Al Baqarah) -termasuk dalam menerapkan syari’atnya-, tidak menerima sebagian ajaran Islam dan menolak sebagian yang lain karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya.

Manfaat Penerapan Syari'at Islam

Berusaha untuk menerapkan syari’at Islam adalah merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Secara individual maupun kolektif, seluruh umat Islam bertanggungjawab terhadap tegaknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat, berkeluarga dan pada diri mereka masing-masing. Sebab nilai-nilai yang terkandung dalam syari’at Islam -yang bersumber dari Al Quraan dan As Sunnah- harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bukti atas keimanan yang diikrarkan.

Pelaksanaan syari’at Islam merupakan bagian dari ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan sekaligus benteng yang kokoh dalam menjaga Islam dan umatnya. Adapun tujuan dan manfaat yang dapat diperoleh dengan menerapkan syari’at Islam, antara lain adalah:

  1. Menjaga eksistensi agama Islam.
  2. Adanya kepastian dan jaminan hukum.
  3. Melindungi keamaan harta dan jiwa.
  4. Menjaga kesehatan jasmani dan ruhani.
  5. Meminimalkan terjadinya tindak kejahatan dan kerusakan moral masyarakat.
  6. Mendukung terwujudnya masyarakat yang beradab dan sejahtera.
  7. Mengembangkan individu dan masyarakat yang berorientasi pada ketaqwaan.
  8. Memperkokoh usaha-usaha pembelaan dan keamanan negara.
  9. Insya Allah, dapat membawa umat Islam menuju keselamatan di dunia dan akhirat.

Dalam menerapkan syari’at Islam, Prof. Hasbi Ash Shiddieqy berpendapat bahwa syari’at Islam adalah syari’at ‘alamiah (universal) bukan makaniah/iqlimiah (nasional), yang dihadirkan bagi seluruh umat manusia. Dia adalah syari’at dunia seluruhnya yang dihadapkan kepada orang-orang muslim maupun non muslim, juga kepada penduduk negara Islam maupun bukan negara Islam. Tetapi secara kondisional syari’at Islam hanya dapat diterapkan pada negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas muslim atau di bawah kekuasaan umat Islam saja. Demikian pula sebaliknya, semakin surut kekuasaan umat Islam, semakin ciutlah batas-batas yang dapat diterapkan di dalamnya syari’at Islam.

Di era modern ini, penerapan syari’at Islam dapat dilakukan di negara-negara Islam maupun negara-negara non Islam. Negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, sudah selayaknya untuk menerapkan syari’at Islam secara menyeluruh. Sementara umat Islam yang menjadi minoritas dalam suatu negara, harus berjuang sekuat kemampuan untuk menegakkan syari’at Islam secara luas. Menerapkan syari’at Islam tidak hanya di negara yang secara formal menyatakan diri sebagai Negara Islam.

Pluralitas Dalam Masyarakat Islam

Sejak semula Islam meniadakan dinding-dinding rasial lalu mengembalikan manusia kepada asal yang satu, dan menetapkan tidak ada keistimewaan suatu ras terhadap ras yang lain. Perbedaan warna kulit, bangsa dan bahasa tidaklah mengandung arti keistimewaan dan kelebihan. Yang dikehendaki hanyalah saling berhubungan dengan baik, bukan saling mencari perbedaan dan permusuhan.

Hanya ada satu ukuran untuk mendapatkan tempat utama, yaitu taqwa kepada Allah (QS 49:13, Al Hujuraat). Taat kepada-Nya dan berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya. Yang demikian itu adalah urusan semua orang yang tidak ada kaitannya dengan jenis, bahasa, bangsa dan warna kulit manusia. Lantaran itulah ide diskriminasi ras sudah terhapus dalam masyarakat Islam sejak semula. Karena masyarakat Islam membuka semua pintunya untuk seluruh manusia di atas dasar persamaan dan keadilan tanpa memandang jenis, warna kulit, bahasa, bangsa, bahkan agama sekalipun. Dengan demikian masyarakat Islam mampu menampung keragaman warganya dengan segala pluralitasnya.

Dalam perkembangan global masyarakat dunia, pluralitas adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Masyarakat Islam dapat menerima keberagaman ini. Namun, hal ini bukan berarti harus diikuti dengan penerimaan ide sekulerisme yang memisahkan antara negara dan agama, sebagaimana yang dianut oleh masyarakat Barat dan para pengekornya. Meskipun dengan alasan agar supaya tidak ada dominasi suatu agama terhadap agama yang lain, ataupun alasan toleransi dalam beragama. Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, sebab semua aspek kehidupan umat manusia terintegrasi dalam aturan Islam.

Ide liberalisme yang mengagung-agungkan kebebasan untuk berekspresi seluas-luasnya tanpa batas dengan alasan hak asasi manusia (HAM) -yang terkesan dipaksakan- juga tidak dapat diterima. Dalam masyarakat Islam, kebebasan berekspresi diberikan tempat sesuai dengan porsinya. Sebab hak asasi manusia masing-masing individu dalam sistim sosial memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Karena itu kebebasan yang proporsional dan bertanggungjawab serta tidak melanggar syari’at Islam sudah barang tentu mendapatkan tempatnya dalam Masyarakat Islam.

Demikian pula, ide pluralisme -yang mengganggap semua agama sama benar- juga tidak bisa diterima dalam masyarakat Islam. Islam memiliki claim of truth yang sangat jelas. Dalam pandangan Islam, hanya agama Islam yang benar; dan pencarian agama selain Islam, hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka.

Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS 3:19, Ali 'Imran).

Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS 3:85, Ali 'Imran).

Meskipun demikian, Islam tidak memaksa setiap orang untuk menjadi muslim. Setiap warga masyarakat Islam diberi kebebasan untuk memeluk keyakinannya masing-masing, dan mengekspresikan keyakinan tersebut secara terbuka dengan tetap saling menjaga toleransi.

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 2:256, Al Baqarah)

Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku". (QS 109:1-6, Al Kaafiruun).

Ideologi Masyarakat Islam

Masyarakat Islam dibangun bukan atas dasar nasionalisme, kapitalisme, sosialisme ataupun paham-paham yang lain, seperti: sekulerisme, liberalisme maupun pluralisme sebagaimana di sebutkan di depan; tetapi dibangun dan dikembangkan oleh syari’at Islam yang bersumber kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Karena itu jelas tidak pada tempatnya bila membina Masyarakat Islam dengan berdasarkan ideologi-ideologi tersebut, meskipun dengan memberi atribut Islam di belakangnya, seperti: nasionalisme Islam, kapitalisme Islam, sosialisme Islam dan lain sebagainya.

Memang dalam beberapa hal ada kemiripan yang nampak antara ajaran Islam dengan nasionalisme, kapitalisme atau sosialisme ataupun yang lainnya. Namun kemiripan itu bukan berarti Islam sama dengan ideologi-ideologi tersebut, karena Islam memiliki dasar yang berbeda. Islam hanya menerima sistim hidup atau cara hidup (way of life) yang sesuai dengannya di dalam membangun masyarakat.

Yusuf Qaradlawi menyatakan, bahwa kita percaya akan absolutisme satu ideologi untuk menangani problematika umat masa kini, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, militer, mental maupun moral. Kita hanya mempunyai satu ideologi yang dapat menyelematkan umat ini dari kegoncangan, kebingungan, ketersiksaan dan keterhinaan. Ideologi tersebut adalah Islam yang tampak terwujud ketika berdirinya masyarakat Islam yang betul-betul Islam. Yaitu masyarakat yang diarahkan, diperintah dan dipimpin oleh aqidah Islam, akhlaq Islam, adat-istiadat Islam dan undang-undang Islam.

Pengertian Ideologi Islam ini adalah Islam harus menjadi pedoman di seluruh lapangan kehidupan, material dan spiritual. Aqidah masyarakat harus islami, begitu juga semboyan hidupnya, paham dan pikirannya yang islami. Demikian halnya dengan perasaan, akhlaq, pendidikan, tradisi, tata susila, undang-undang dan peraturan-peraturannya. Seluruhnya harus Islami berdasarkan pada ajaran-ajaran Islam.

Masyarakat Madani

Contoh riil Masyarakat Islam adalah Negara Madinah, yaitu masyarakat Islam pada masa generasi Rasulullah dan para shahabatnya. Ziauddin Sardar menginformasikan, bahwa: terdapat kebulatan suara di antara para sarjana bahwa Negara Madinah yang didirikan oleh Nabi setelah beliau hijrah dari Mekah adalah masyarakat muslim yang ideal. Inilah contoh utama masyarakat sempurna yang dapat ditiru orang; dan inilah cita-cita yang ingin kita capai. Itulah model paradigma kita. Penyelewengan dari kesempurnaan, dari model itu, hanya akan mendatangkan kejatuhan. Keadaan peradaban muslim saat ini adalah akibat dari penyelewengan ini.

Diperlukan pemahaman untuk mengaktualisasikan paradigma Negara Madinah ke dalam sistim Masyarakat Islam modern. Upaya untuk itu di antaranya menghasilkan pemikiran tentang Masyarakat Madani, yaitu suatu sistem masyarakat modern yang dibimbing oleh nilai-nilai syari’at dengan mengacu pada Negara Madinah. Masyarakat Madani memiliki beberapa karakter, yang terpenting adalah berlakunya syari’at Islam dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagaimana telah dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa berlakunya syari’at Islam, hanya akan menghadirkan Masyarakat Madani palsu (pseudo madania).

Menurut Amang Syafrudin, bahwa karakteristik masyarakat Madani tercermin dalam sejumlah substansinya yang sangat universal dan integral, yang terbagi dalam dua kategori: Pertama: Karakter Primer, antara lain: masyarakat intelektual, masyarakat spiritual, masyarakat moral, masyarakat hukum dan masyarakat berperadaban. Kedua: Karakter Skunder, antara lain: masyarakat demokrat, masyarakat moderat, masyarakat mandiri dan bertanggung jawab, masyarakat profesional dan masyarakat reformis.

Fungsi Dan Peran Masjid Dalam Masyarakat Islam

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang selalu melakukan aktivitas islamisasi, dan Masjid merupakan salah satu pendukung utamanya. Masjid telah menjadi tempat ibadah, pembinaan, kaderisasi, pemurnian nilai-nilai Islam dan pendidikan. Banyak gagasan-gagasan ataupun pemikiran-pemikiran lahir dan disosialisasikan dari Masjid yang membawa pengaruh besar dalam perbaikan masyarakat.

Masjid memegang peranan yang sangat penting sejak dahulu hingga sekarang. Disamping sebagai tempat melaksanakan ibadah shalat berjama’ah, Masjid juga berfungsi sebagai tempat beraneka ragam aktivitas sosial yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Masjid telah terbukti sebagai pendukung utama dalam proses islamisasi kehidupan umat manusia. Ada beberapa fungsi dan peran Masjid dalam membentuk dan mengembangkan masyarakat Islam, antara lain sebagai:

  1. Tempat beribadah.
  2. Tempat menuntut ilmu.
  3. Tempat pembinaan jama’ah.
  4. Pusat da’wah dan kebudayaan Islam.
  5. Pusat kaderisasi umat.
  6. Basis kebangkitan Islam.

Kebangkitan Menuju Masyarakat Islam

Umat Islam telah memproklamirkan abad ke-15 Hijriyah sebagai abad kebangkitan Islam. Secara formal, kebangkitan Islam dicanangkan sejumlah negara Islam dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam I pada tahun 1969 di Rabbat, Marokko, menjelang berakhirnya abad ke-14. KTT memutuskan untuk merayakan permulaan abad ke-15 Hijriyah sebagai “Abad Kebangkitan Islam”. Kebangkitan Islam berarti Islam dan umatnya dapat berjaya kembali sebagaimana pernah diraih di masa lalu.

Kebangkitan Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan Masyarakat Islam modern yang mampu memberi kontribusi positip bagi kehidupan dan peradaban umat manusia. Dengan terwujudnya Masyarakat Islam, insya Allah, umat Islam dapat hidup dalam suasana islami dan membawa rahmat bagi semesta alam. Sehingga, predikat umat terbaik (khairu ummah) yang pernah dicapai generasi pertama Islam dapat disandang kembali oleh umat Islam di era modern ini (QS 3:110, Ali ‘Imran).

Kebangkitan Islam bukanlah utopia. Fenomenanya dapat dilihat dari kegairahan umat Islam untuk kembali kepada Islam, yang diwujudkan dengan bermunculannya organisasi-organisasi Islam internasional, konferensi-konferensi Islam nasional maupun internasional yang diselenggarakan oleh umat Islam, semaraknya partai-partai Islam yang memperoleh dukungan luas di berbagai negara, simbol-simbol Islam yang spesifik seperti jilbab dan Bank Islam, semakin semaraknya Masjid dengan aneka kegiatan, kesadaran kelas menengah muslim dalam beragama, dan lain sebagainya. Namun menurut ASM Romli, kebangkitan Islam kembali baru pada tahap fenomena, belum merupakan realitas. Karena itu, kinilah saatnya kita turut memberikan kontribusi bagi kebangkitan Islam yang kita cita-citakan bersama.

Sumber: Institut Manajemen Masjid

 

Tambah komentar


Kode keamanan
Refresh