Form Login



Agenda Kegiatan Masjid

Jadwal Sholat Kota Jakarta
Beranda Khutbah Jumat Tingkatan Cinta di dalam Al Qur'an
Tingkatan Cinta di dalam Al Qur'an Cetak Email
Ditulis oleh Administrator   
Rabu, 30 Mei 2012 07:13

Tingkatan Cinta di dalam Al Qur'an

Oleh:UST. WAHFIUDDIN, MBA

Seluruh makhluk hidup diciptakan oleh Allah secara berpasang-pasangan dari jenisnya masing-masing. Manusia dengan manusia, tumbuhan dengan tumbuhan, serta hewan pun dengan hewan. Menikah bukanlah sebuah ikatan main-main antara pasangan. Seperti firman Allah Swt di dalam surat Ar Rum Ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda (KebesaranNya) Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” Ikatan dan janji suci sepasang kekasih yang telah dipertemukan oleh Allah Swt dan ditakdirkan untuk bersatu seraya membangun sebuah mahligai rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Menikah dengan tujuan mencari ridho Allah Swt akan selalu dibimbing dan dilindungi Allah Swt serta dapat terhindar dari bahaya dan terjerumus ke dalam sebuah kemaksiatan.

Menikah di rumah Allah diawali dengan pembacaan al Qur’an yang suci. Ingatlah selalu bahwa pernikahan seungguhnya bukan hanya perikatan keperdataan, bukan semata-mata ikatan dua individu manusia, tetapi sesungguhnya perikatan ini melibatkan dimensi spiritual, melibatkan dimensi langit, karena kita semua menyertakan Allah Swt di dalam sebuah pernikahan dan para malaikat pula menyaksikan dan mendoakan kita semua yang tengah melangsungkan sebuah pernikahan dengan mengharap ridho Allah Swt.

Di dalam Islam, Rasulullah Saw berpesan “Siapa yang menikah dan telah berkeluarga maka ia telah memenuhi separuh dari kewajiban-kewajiban keagamaannya”. Dunia barat yang sekuler seakan-akan menganggap agama adalah sebuah hubungan manusia dengan TuhanNya saja, hanya melaksanakan ibadah ritual yang vertikal. Tetapi di dalam Islam agama ada dimensi vertikal dengan Tuhan, dan dimensi sosial yaitu hubungan dengan sesama manusia.

Hubungan sosial di dalam lingkup yang mikro yaitu keluarga, maka seseorang yang mengurus keluarganya dengan baik, membangun kehidupan kekeluargaan berarti dia telah memenuhi tugas separuh kewajiban agamanya. Dua hal yang harus dijaga di dalam berkeluarga, yakni aqidah tauhid yang jangan sampai dirusak dengan perbuatan syirik, dan jangan pernah sekalipun kita meninggalkan shalat. Dengan kedua kunci tersebut maka kunci surga sudah dapat kita raih. Hidup berkeluarga adalah kehidupan menunaikan ibadah agama, maka dengan menunaikan ibadah kehidupan dengan baik separuh kewajiban agama telah kita tunaikan. Di dalam Islam sangat ditekankan bahwa yang disebut manusia bukan semata-mata tubuh fisik lahiriah. Sesungguhnya hakekat manusia adalah ruh yang diciptakan oleh Allah Swt di alam lahut.

Makhluk ruhaniah ini dihadirkan masuk ke dalam tubuh dan ketika tubuhnya mati, ruh dikeluarkan dari tubuh dan melanjutkan ke kehidupan berikutnya. Jangan pernah menganggap pernikahan semata-mata ikatan dua tubuh. Ketika kita menganggap pernikahan hanya ikatan dua tubuh maka sesungguhnya pernikahan hanyalah legalisasi atau pengesahan hubungan antar tubuh dan ketika salah satu tubuhnya mati maka perkawainan telah dianggap selesai. Manusia adalah ruh dan perkawinan merupakan ikatan ruhaniah maka ketika salah satu tubuhnya menjadi tua, menjadi tidak berdaya, fisiknya menjadi lemah, kekuatan ruh akan tetap saling terikat.

Cinta di dalam Al Qur’an disebut dengan beberapa istilah yang menunjukkan pula gradasi cinta tersebut. Pertama, cinta di sebut dengan Hubbah atau mahabah, berasal dari kata Habbal. Mahabbah berarti mencintai kepada, cenderung kepada, atau tertarik kepada. Kecenderungan kepada lawan jenisnya untuk memiliki keturunan. Mahabbah adalah cinta yang hanya sekedar cenderung dan tertarik. Dan ini merupakan cinta kelas paling rendah, hanya karena penampilan-penampilan lahiriah orang saling tertarik. Jika mahabbah telah menghiasi diri dan diikat dengan pernikahan, maka muncul mawaddah dan warahmah. Mawaddah berarti memiliki, merengkuh, memeluk dan menjadikan bagian diri sendiri serta mengambil alih menjadi tanggung jawab.

Warahmah memiliki arti cinta yang berasal dari kata rahmah yang artinya memberi, melimpahkan, berbagi. Jika mahabbah hanya saling cenderung dan tertarik, kemudian mawaddah saling memiliki dan warahmah saling memberi. Mawaddah dan warahmah ini cinta yang sudah menuntut komitmen, tanggung jawab dan pengorbanan. Hingga kita mampu menuju ke tingkat yang lebih tinggi, yang di dalam Al Qur’an disebut dengan Ridho. Berasal dari kata Raudiyah, yang berarti membiarkan dimana kita mencintai pasangan kita dengan memberi kebebasan. Pasangan suami istri yang telah mencintai dengan ridho pasangannya akan menerima segala kekurangan dan memberi kebebasan tanpa syarat apapun kepada pasangannya. Ketika suami dan istri mengejar ridho di dalam rumah tangga, jangan pernah melupakan untuk mengejar ridho Allah Swt. Sebab hidup akan memiliki akhir yang indah ketika malaikat Ijrail datang menyapa kita karena ridho Allah Swt. Orang tua merupakan bagian terpenting di dalam kehidupan seorang anak. Ketika pasangan suami istri tengah berusaha mengejar ridho Allah maka ridho yang harus diraih adalah rido orang tua, karena ridho Allah tergantung kepada ridho orang tua. Jangan pernah menyakiti orang tua karena sudah barang tentu Allah tidak akan meridhoi kehidupan rumah tangga yang akan kita bangun. Semoga kita selalu mendapatkan ridho orang tua di dalam setiap hal dan Allah Swt pun akan meridhoi umat Nya di dalam setiap hal yang dilakukannya. Amin.