Form Login



Agenda Kegiatan Masjid

Jadwal Sholat Kota Jakarta
Beranda Artikel
Pendidikan
Kisah Nyata dari Aksi Massa Jalan Kaki Ciamis-Jakarta Cetak Email
Ditulis oleh Administrator   
Rabu, 14 Desember 2016 10:55

Sebuah Kesaksian: Gerimis Air Mata di Malangbong

SEBUAH kisah nyata mengharubirukan jagat media sosial. Kisah ini diceritakan oleh seorang warga Jawa Barat, Deny Suwarja, 50 tahun.

Lewat coretan panjang di dinding akun medsosnya, Deny mengungkapkan perasaan haru dan bangganya atas massa Aksi Bela Islam III yang rela berjalan kaki Ciamiss-Jakarta.

Guru SMPN 2 Garut ini mengaku menulis kisah yang dialaminya itu atas dorongan nurani. “Panggilan jiwa sebagai Muslim,” ungkapnya kepada hidayatullah.com di Jakarta, Rabu (30/11/2016) lewat obrolan pesan pribadi.

Selain itu, kata Deny, ia menuliskan kisah tersebut untuk mengimbangi pemberitaan media massa terutama arus utama.

“Karena tidak ada media massa yang meliput secara intensif. Apalagi media yang ‘itu’, massa ratusan orang dibilang hanya 86 orang,” ketusnya.

Lewat tulisan itu pun, Deny bermaksud menyampaikan tuntutannya agar tersangka penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) segera ditahan.

“Penista agama harus dipenjarakan, siapapun dia. Dari agama apapun dia,” ungkapnya, seraya menegaskan, ia tak membenci etnis dan agama manapun.

Deny pun mengaku punya banyak teman etnis Tionghoa dan non-Muslim. “Tapi mereka tetap bersahabat dengan saya. Bahkan saat si Ahok menghina al-Qur’an, mereka pun mendukung Muslim,” lanjutnya.

Berikut penuturan Deny dalam kisahnya berjudul “Sebuah Kesaksian”:


Tadinya tidak terpikirkan, ikut menjemput dan mengawal para peserta long march Ciamis-Jakarta di Malangbong (Kabupaten Garut).

Saat ada keperluan di Cibatu, pukul 15.40 WIB membaca update info rombongan dari salah seorang peserta. Bahwa, rombongan sudah tiba di Masjid Agung Malangbong. Tertarik dan panggilan hati, ingin memberi dukungan moril kepada mereka.

Via Sasakbeusi, menuju Malangbong. Perasaan dan hati dibuat bangga dan sejuk. Betapa tidak, di sepanjang tepi jalan tampak masyarakat berkerumun di setiap sudut. Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-kakek, nenek-nenek, semua bersiap menyambut, lengkap dengan makanan dan minuman bahkan buah-buahan.

Di Lewo, (saya) berhenti sejenak. Mendekati kerumunan itu dan memasang kamera kecil. Saat ditanya mengapa mereka melakukan hal itu? Jawaban mereka: “Lillahita’ala, demi Allah, demi agama kami, demi membela al-Qur’an yang telah dinistakan”.

“Ini murni dari hamba Allah, bukan dari partai politik yang dituduhkan si penista! Kami tidak bisa ikut long march. Tapi, kami ingin mendukung mereka (peserta aksi. Red). Tukang tahu, menyumbang tahu. Tukang emplod, tukang tempe, tukang kerupuk, tukang roti, tukang bala-bala. Bapak lihat sendiri, ini di depan. Semua sumbangan sukarela. Ikhlas, enggak ada yang membayar!” jawab mereka.

Subhanallah. Bulu kuduk merinding, ada yang tersekat di tenggorokan. Mereka rakyat biasa, begitu rela berkorban. Demi keyakinan dan keimanan mereka yang diinjak-injak dan dinistakan.

Mereka rela berkorban dan sudah berdiri di sana, lebih kurang 1,5 jam. Padahal, rombongan long march baru tiba di Masjid Agung Malangbong dan rehat dengan shalat maghrib. Perjalanan baru akan dilanjut bada shalat maghrib.

Tiba di Masjid Agung Malangbong, suasana seperti malam takbiran. Setiap melewati kerumunan orang-orang gema takbir dan kepalan tangan terangkat selalu terucap. Tegas tanpa rasa ragu.

Tampak beberapa (orang) ada yang makan nasi bungkus berdua, bahkan ada yang bertiga sambil duduk bersandar ke tembok. Belakangan mendapat informasi dari koordinator konsumsi, bahwa makanan, snack, dari (berbagai) kemasan, dan obat-obatan lebih dari cukup sumbangan sukarela dari masyarakat yang terlewati rombongan.

Yang kurang adalah untuk nasi bungkus/boks. Untuk nasi bungkus/boks sering mengalami keterlambatan karena langsung didrop dari pesantren di Ciamis.

Namun peserta tidak mengeluh. Saat di Malangbong mendapatkan sumbangan 300 nasi bungkus dari masyarakat setempat. Mereka rela berbagi dengan teman-temannya! Subhanallah!

Untuk makanan kemasan seperti biskuit atau roti dan air kemasan lebih dari cukup. Bahkan, mobil feeding kewalahan untuk mengangkut semua itu.

Alternatifnya, koordinator konsumsi harus mendatangakan dump truck yang besar, untuk mengangkut semua konsumsi yang disediakan masyarakat sepanjang Ciamis-Malangbong. Pastinya akan terus bertambahan selama perjalanan ke Jakarta.

Yang mengiris hati, di antara makanan kemasan tampak juga makanan tradisional, seperti cuhcur, ali agrem, burayot, rangginang, emplod, ladu, bahkan air kopi panas yang dimasukkan plastik ada di sana.Yang pasti semua makanan tradisional tersebut diolah oleh rakyat kebanyakan, rakyat miskin, rakyat yang tidak rela kitab sucinya dihina dan ingin membela dengan cara mereka.

Kumandang adzan maghrib bergema! Wajah-wajah yang tidak bisa menyembunyikan rasa lelah tapi dengan sorot mata penuh semangat itu langsung mengambil air wudhu.

Tidak sampai 2 menit, kerumunan jamaah lebih dari 2.000 orang tersebut (plus mukimin) langsung berbanjar rapi. Tanpa harus berteriak-teriak ala polisi yang kemarin sempat melarang PO-PO bus agar tidak menyewakan bus kepada mereka.

Mereka tertib, rapih, merapatkan barisan menghadap kiblat. (Jadi) rapi makmum hanya sesaat setelah mendengar suara iqamat.

Selama (saya) shalat, tidak terasa mata basah. Alhamdulillah, bisa ikut berjamaah bersama mereka. Terasa atmosfer ghirah izzatul Islam yang kental. Khusyuk dan penuh kesyahduan.

Setelah membaca salam, air mata makin basah saat para santri tersebut bersalaman sambil mencium tangan saya penuh hormat. Padahal saya tidak mengenal mereka. Mereka tidak mengenal saya.

Akhlak mereka begitu santun. Saat melewati orang yang lebih tua mereka berjalan membungkuk, merendahkan tubuhnya dengan posisi tangan lurus ke bawah menyentuh lutut.

Hujan turun gerimis, saat (saya) meninggalkan Masjid Agung Limbangan agar dapat mengambil gambar yang bagus. Lebih kurang 6 km dari alun-alun Malangbong, berhenti di sebuah warung untuk menyantap mi sambil menunggu rombongan, buang air kecil dan ngopi.

“Paling perkiraan memakan waktu satu jam dari Malangbong ke sini!” kata si Bapak pemilik warung.

“Bapak yakin? Saya perkirakan paling 30 menit. Kan, hanya 6 km!” bantah saya.

Tapi, saya dan istri dibuat terpelongo. Belum lima belas menit duduk sambil menikmat mi rebus, tiba-tiba dari arah timur mobil polisi yang mengawal sudah tiba. Polisi memberlakukan jalur satu arah. Kendaraan dari arah Limbangan diminta menepi.

Tidak sampai lima menit kemudian, dalam guyuran hujan yang makin deras. Tampak rombongan muncul dari arah Malangbong. Hanya 20 menit! Mereka bertakbir, bershalawat menembus hujan dengan hanya berlapiskan jas hujan plastik keresek.

Beriringan, sebagian ada yang berpegangan tangan, sebagian ada yang membawa tongkat. Sebagian ada yang menggandeng temannya.

Tidak henti, mobil ambulans dan mobil evakuasi yang mengikuti rombongan. (Orang dalam mobil itu) memberikan pengarahan kepada para peserta yang sudah tidak kuat berjalan jangan memaksakan, ‘silakan naik mobil yang kedua lampu daruratnya menyala!’.

Tapi yang minta dievakuasi bisa dihitung dengan jari. Mayoritas mereka tetap berjalan, bahkan ada yang setengah berlari menembus hujan deras.

Menuju ke Warung Bandrek, Kersamanah, di sepanjang jalan tampak masyarakat menyemut. Lebih heboh daripada tadi sore saat mereka menunggu rombongan. Makanan dan minuman yang disediakan mereka makin banyak.

Seorang nenek, berdiri di antara kerumunan masyarakat. Di tangannya tampak dia memegang sebungkus emplod (makanan khas lewo dari singkong). Seorang Bapak sibuk, menyeduh kopi panas di gelas plastik dan memberikan dengan penuh kasih sayang serta doa kepada setiap peserta yang melewatinya.

Suasana sangat Islami, tulus, ikhlas, dan (penuh) ukhuwah Islamiyah. Berkali-kali saya dan istri menyeka air mata saat menyaksikan mereka di sepanjang perjalanan. Allahu Akbar!

Ya Allah, saksikanlah kami ridha Engkau menjadi Tuhan kami. Kami ridha Islam menjadi agama kami. Kami ridha Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi Rasul kami, kami rela al-Qur’an menjadi kitab suci kami!

Jauhkan kami dari orang-orang munafik, yang lebih ridha kaum kafir jadi pemimpinnya dan menyangkal kebenaran kalam-Mu. Amiiin….!!!*

Sumber : www. hidayatullah.com

 
INILAH FAKTA KEBOHONGAN IBU Cetak Email
Ditulis oleh Administrator   
Rabu, 14 Mei 2014 16:42

INILAH FAKTA KEBOHONGAN DARI SEORANG IBU, YG WAJIB DIKETAHUI PUBLIK:

1. Saat makan, jika makanan kurang, Ia akan memberikan makanan itu kepada anaknya dan berkata, "Cepatlah makan, ibu tidak lapar."

 
Mertuaku, Mengapa Engkau Begitu? Cetak Email
Ditulis oleh Administrator   
Senin, 02 Desember 2013 10:18

dakwatuna.com - Setiap anak lelaki kelak akan menikah dan membangun sebuah keluarga kecil bersama wanita yang telah dipilihkan oleh Allah untuknya. Tidak mudah memang ketika wanita pilihan hati ini mau tidak mau harus berhadapan dengan sang ibu mertua. Wanita yang telah melahirkan, menjaga, mengasuh dan mendidik pujaan hatinya tersebut. Tentu saja tidak ada yang mengalahkan perasaan seorang ibu terhadap anaknya. Ketika berbicara tentang dua perempuan yang sama-sama mencintai seorang lelaki, banyak terdapat ?perang dingin? di dalamnya. Ini merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri lagi, saya yakin beberapa muslimah mengalami hal serupa di tahun-tahun awal pernikahan.

 
Tujuan-Tujuan Mulia Menikah dan Berkeluarga Cetak Email
Ditulis oleh Administrator   
Senin, 11 November 2013 12:54


dakwatuna.com - Menikah dan berkeluarga itu bukan persoalan keinginan seseorang. Oleh karena itu, lelaki dan perempuan lajang tidak perlu ditanya apakah mereka ingin menikah atau tidak, karena menikah itu bukan soal ingin. Kalau menikah dipahami hanya persoalan ingin, maka ada orang tidak mau menikah dengan alasan tidak ingin, dan ada orang yang menikah setiap hari karena selalu ingin. Menikah adalah tugas peradaban, karena hanya dengan pernikahanlah akan lahir peradaban kemanusiaan yang mulia di masa depan.

 
Kisah Muthi'ah Cetak Email
Ditulis oleh Administrator   
Senin, 11 November 2013 10:37


"Sungguh luar biasa! Benarlah kata ayahku, engkau perempuan berbudi baik." kata Fatimah terkagum-kagum.

Tidak lama sebelum itu...
"FATHIMAH anakku, maukah engkau menjadi seorang perempuan yang baik budi dan istri yang dicintai suami?" tanya sang ayah yang tak lain adalah Nabi SAW. "Tentu saja, wahai ayahku"

"Tidak jauh dari rumah ini berdiam seorang perempuan yang sangat baik budi pekertinya. Namanya Muthi'ah. Temuilah dia, teladani budi pekertinya yang baik itu".

Gerangan amal apakah yang dilakukan Muthi'ah sehingga Rasulpun memujinya sebagai perempuan teladan? Maka bergegaslah Fathimah menuju rumah Muthi'ah dengan mengajak serta Hasan, putra Fathimah yang masih kecil itu.

Begitu gembira Muthi'ah mengetahui tamunya adalah putri Nabi besar itu. "Sungguh, bahagia sekali aku menyambut kedatanganmu ini, Fathimah. Namun maafkanlah aku sahabatku, suamiku telah beramanat, aku tidak boleh menerima tamu lelaki di rumah ini."

 
<< Awal < Kembali 1 2 Lanjut > Akhir >>

Halaman 1 dari 2